ANALISIS
KASUS BLBI
Siapa
yang paling bersalah ?
Pelaku dari kasus
aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah bankir-bankir itu sendiri.
Mereka “nakal”, tidak mau mengembalikan dana BLBI. Hal ini menimbulkan indikasi
bahwa memang ada penyewelengan bantuan dana itu.
Syafruddin
Tumenggung yang adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN)
ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL)
salah satu obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).
Siapa yang paling bertanggungjawab ?
Pemerintah
Paling Bertanggung Jawab Atas Kasus BLBI. Pemerintah merupakan pihak yang
bertanggung jawab atas kerugian negara dalam kasus obligor penerima BLBI
Anthony Salim. Pasalnya, pemerintahlah yang bertanggung jawab atas pengucuran
dana BLBI dan berbagai kebijakan pemerintah yang membebaskan Anthony Salim dari
jeratan hukum baik secara perdata dan pidana.
Selain
itu, pemerintah mendapat saran dari IMF untuk menutup 16 bank tanpa persiapan
yang memadai, akibat krisis moneter yang terjadi diberbagai kawasan. Akibatnya
masyarakat berbondong-bondong mendatangi bank untuk menarik tabungannya untuk
kemudian menyimpannya dirumah atau di bank asing dalam maupun luar negeri.
Akibat penarikan dana masyarakat pada bank-bank di Indonesia tersebut, terjadi
capital outflow keluar Indonesia lebih dari 8 miliar dollar AS. Demi keadilan,
pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia yang memutuskan penutupan 16 bank
tersebut harus diperiksa, karena penutupan tersebut mengakibatkan Bank
Indonesia harus mengeluarkan pinjaman BLBI. Dalam penyaluran pinjaman BLBI
inipun berpotensi merugikan negara baik pada tahap penyaluran, tahap penyerahan
aset dan tahap penjualan aset. Contoh nyatanya dalam kasus penjualan BCA
senilai 5 triliun, padahal nilai BCA (Desember 2007) telah mencapai 92 triliun
dan memiliki tagihan obligasi rekapitulasi senilai 60 triliun pada saat
penjualan BCA kepada konsorsium Farallon dan Djarum.
Program Audit yang Digunakan
Audit
investigasi adalah salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya
strategi memerangi korupsi dengan pendekatan investigatif. Dapat diartikan pula
bahwa Audit investigatif merupakan audit yang khusus ditujukan untuk mengungkap
kasus atau penyimpangan yang berindikasi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN).
Audit ini umumnya merupakan pengembangan lebih jauh atas hasil audit
operasional yang menunjukkan adanya indikasi KKN, namun bisa juga didasarkan
atas berita di mass media maupun laporan/pengaduan dari masyarakat.
Badan
Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP)
atau auditor yang lainnya yang melakukan pekerjaan investigasi bertujuan untuk
mengungkap adanya indikasi kerugian negara, daerah dan/ atau ada tidaknya unsur
pidana.
Langkah-langkah
Audit Investigasi
1. Menelaah informasi awal dari Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan
Daerah APBD Tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Jeneponto
2. Melakukan analisa APBD, Perubahan APBD Tahun Anggaran 2002 dan
2003, Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2002 dan 2003, DIPDA/Revisi DIPDA Tahun
Anggaran 2002 serta DASK Tahun Anggaran 2003 Pemerintah Daerah Kabupaten
Jeneponto
3. Melakukan analisa dokumen-dokumen pengadaan Mess Pemerintah
Kabupaten Jeneponto di Jakarta dan pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan
Waduk Kelara-Kareloe
4. Melakukan konfirmasi kepada instansi/pihak-pihak terkait dengan
pengadaan Mess Pemda Kabupaten Jeneponto di Jakarta dan pembangunan Waduk
Kelara-Kareloe
5. Melakukan pemeriksaan fisik Mess Pemerintah Kabupaten Jeneponto
di Jakarta dari tanggal 26 September 2005 samapai dengan 30 September 2005 dan
lokasi pembebasan tanah Waduk Kelara-Kareloe pada tanggal 3 Oktober 2005
6. Melakukan perhitungan ulang atas kerugian daerah yang
diindikasikan
7. Melakukan wawancara kepada pihak terkait atas
penyimpangan-penyimpangan tersebut
Penyelesaian BLBI ?
Dalam
perjalanan proses penyelesaian kasus BLBI ini pemerintah era Habibie membentuk
BPPN (BadanPenyehatan Perbankan Nasional) untuk menyelesaikan kasus BLBI. BPPN
menempuh beberapa mekanisme yang bertujuan untuk mengembalikan asset Negara
yang telah dibawa kabur oleh para obligor BLBI dimana dengan membuat beberapa
pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham
bank penerima BLBI (skema PKPS). Perjanjian tersebut berupa :
Mengalihkan kewajiban bank
menjadi kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku
operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master
settlement and acquisition agreement (MSSA), pola ini dan master refinancing agreement
and note agreement (MRNIA).
Tujuannya untuk mengembalikan BLBI baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran
tunai kepada BPPN.
Pengkonversian BLBI pada bank-bank take
over (BTO) menjadi
penyertaan modal sementara (PMS). Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham
pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU).
Kebijakan pemerintah
pada masa megawati dalam penyelesaian kasus BLBI adalah mengeluarkan Inpres No.
8 Tahun 2002 tentang (Release and Dischage)pemberian jaminan kepastian hukum
kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada
debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian
kewajiban pemegang saham. Inpres yang dikeluarkan tanggal 30 Desember 2002
menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite
Di era SBY mekanisme
penyelesaian masih menggunakan prinsip release and discharge dimana lebih
memprioritaskan pengembalian asset ketimbang penegakan hukum. Ironisnya lagi,
pemerintah SBY memberikan perlakuan yang berlebihan dengan “menggelar karpet
merah” kepada 3 obligor BLBI yaitu Atang Latief, James Januardy, dan Ulung
Bursa datang ke Istana Negara untuk merundingkan pola penyelesaian hutangnya.