July 23, 2018

Contoh analisis kasus BLBI

Tags



ANALISIS KASUS BLBI


Siapa yang paling bersalah ?
Pelaku dari kasus aliran dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia adalah bankir-bankir itu sendiri. Mereka “nakal”, tidak mau mengembalikan dana BLBI. Hal ini menimbulkan indikasi bahwa memang ada penyewelengan bantuan dana itu.
Syafruddin Tumenggung yang adalah mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) ditetapkan KPK sebagai tersangka kasus pemberian Surat Keterangan Lunas (SKL) salah satu obligor BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia).  
Siapa yang paling bertanggungjawab ?
Pemerintah Paling Bertanggung Jawab Atas Kasus BLBI. Pemerintah merupakan pihak yang bertanggung jawab atas kerugian negara dalam kasus obligor penerima BLBI Anthony Salim. Pasalnya, pemerintahlah yang bertanggung jawab atas pengucuran dana BLBI dan berbagai kebijakan pemerintah yang membebaskan Anthony Salim dari jeratan hukum baik secara perdata dan pidana.
Selain itu, pemerintah mendapat saran dari IMF untuk menutup 16 bank tanpa persiapan yang memadai, akibat krisis moneter yang terjadi diberbagai kawasan. Akibatnya masyarakat berbondong-bondong mendatangi bank untuk menarik tabungannya untuk kemudian menyimpannya dirumah atau di bank asing dalam maupun luar negeri. Akibat penarikan dana masyarakat pada bank-bank di Indonesia tersebut, terjadi capital outflow keluar Indonesia lebih dari 8 miliar dollar AS. Demi keadilan, pejabat pemerintah dan pejabat Bank Indonesia yang memutuskan penutupan 16 bank tersebut harus diperiksa, karena penutupan tersebut mengakibatkan Bank Indonesia harus mengeluarkan pinjaman BLBI. Dalam penyaluran pinjaman BLBI inipun berpotensi merugikan negara baik pada tahap penyaluran, tahap penyerahan aset dan tahap penjualan aset. Contoh nyatanya dalam kasus penjualan BCA senilai 5 triliun, padahal nilai BCA (Desember 2007) telah mencapai 92 triliun dan memiliki tagihan obligasi rekapitulasi senilai 60 triliun pada saat penjualan BCA kepada konsorsium Farallon dan Djarum. 
Program Audit yang Digunakan
Audit investigasi adalah salah satu aktivitas dalam rangka implementasi upaya strategi memerangi korupsi dengan pendekatan investigatif. Dapat diartikan pula bahwa Audit investigatif merupakan audit yang khusus ditujukan untuk mengungkap kasus atau penyimpangan yang berindikasi Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN). Audit ini umumnya merupakan pengembangan lebih jauh atas hasil audit operasional yang menunjukkan adanya indikasi KKN, namun bisa juga didasarkan atas berita di mass media maupun laporan/pengaduan dari masyarakat.
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) atau auditor yang lainnya yang melakukan pekerjaan investigasi bertujuan untuk mengungkap adanya indikasi kerugian negara, daerah dan/ atau ada tidaknya unsur pidana.
Langkah-langkah Audit Investigasi
1.      Menelaah informasi awal dari Hasil Pemeriksaan Laporan Keuangan Daerah APBD Tahun 2003 Pemerintah Kabupaten Jeneponto
2.      Melakukan analisa APBD, Perubahan APBD Tahun Anggaran 2002 dan 2003, Perhitungan APBD Tahun Anggaran 2002 dan 2003, DIPDA/Revisi DIPDA Tahun Anggaran 2002 serta DASK Tahun Anggaran 2003 Pemerintah Daerah Kabupaten Jeneponto
3.      Melakukan analisa dokumen-dokumen pengadaan Mess Pemerintah Kabupaten Jeneponto di Jakarta dan pembebasan tanah untuk lokasi pembangunan Waduk Kelara-Kareloe
4.      Melakukan konfirmasi kepada instansi/pihak-pihak terkait dengan pengadaan Mess Pemda Kabupaten Jeneponto di Jakarta dan pembangunan Waduk Kelara-Kareloe
5.      Melakukan pemeriksaan fisik Mess Pemerintah Kabupaten Jeneponto di Jakarta dari tanggal 26 September 2005 samapai dengan 30 September 2005 dan lokasi pembebasan tanah Waduk Kelara-Kareloe pada tanggal 3 Oktober 2005
6.      Melakukan perhitungan ulang atas kerugian daerah yang diindikasikan
7.      Melakukan wawancara kepada pihak terkait atas penyimpangan-penyimpangan tersebut
Penyelesaian BLBI ?
Dalam perjalanan proses penyelesaian kasus BLBI ini pemerintah era Habibie membentuk BPPN (BadanPenyehatan Perbankan Nasional) untuk menyelesaikan kasus BLBI. BPPN menempuh beberapa mekanisme yang bertujuan untuk mengembalikan asset Negara yang telah dibawa kabur oleh para obligor BLBI dimana dengan membuat beberapa pola perjanjian sesuai dengan kondisi dan kemampuan dari para pemegang saham bank penerima BLBI (skema PKPS). Perjanjian tersebut berupa :
Mengalihkan kewajiban bank menjadi kewajiban pemegang saham pengendali. Pemerintah, bersama pemegang saham bank beku operasi (BBO) dan bank beku kegiatan usaha (BBKU), menandatangani master settlement and acquisition agreement (MSSA), pola ini dan master refinancing agreement and note agreement (MRNIA).
Tujuannya untuk mengembalikaBLBI baik melalui penyerahan aset maupun pembayaran tunai kepada  BPPN.
Pengkonversian BLBI pada bank-bank take over (BTO) menjadi penyertaan modal sementara (PMS). Mengalihkan utang bank ke pemegang saham pengendali, melalui pola penyelesaian kewajiban pemegang saham pengendali (PKPS). Caranya dengan menandatangani akta pengakuan utang (APU).
Kebijakan pemerintah pada masa megawati dalam penyelesaian kasus BLBI adalah mengeluarkan Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang (Release and Dischage)pemberian jaminan kepastian hukum kepada debitur yang telah menyelesaikan kewajibannya atau tindakan hukum kepada debitur yang tidak menyelesaikan kewajibannya berdasarkan penyelesaian kewajiban pemegang saham. Inpres yang dikeluarkan tanggal 30 Desember 2002 menginstruksikan kepada Menko Bidang Perekonomian selaku Ketua Komite
Di era SBY mekanisme penyelesaian masih menggunakan prinsip release and discharge dimana lebih memprioritaskan pengembalian asset ketimbang penegakan hukum. Ironisnya lagi, pemerintah SBY memberikan perlakuan yang berlebihan dengan “menggelar karpet merah” kepada 3 obligor BLBI yaitu Atang Latief, James Januardy, dan Ulung Bursa datang ke Istana Negara untuk merundingkan pola penyelesaian hutangnya.

This Is The Newest Post


EmoticonEmoticon